Senin, 28 April 2014

Pajak progresif


Pajak progresif
Untuk mewujudkan fungsi distribusi pendapatan, tarif pajak penghasilan pribadi di Indonesia mengenakan tarif pajak progresif dimana masyarakat yang berpenghasilan tinggi akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Pengenaan tarif pajak progresif ini sekaligus merupakan wujud dari teori daya pikul dimana pajak dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonominya. Tarif pajak penghasilan orang pribadi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sebagai berikut:

 Penghasilan sampai dengan Rp50 juta 5%


  • Di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta 15%
  • Diatas Rp250 juta s.d. Rp500 juta 25%
  • Diatas Rp500 juta 30%
Tarif pajak penghasilan orang pribadi meningkat seiring dengan meningkatnya penghasilan. Prinsip yang mendasari pajak progresif adalah bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih (kaya) harus menanggung beban yang lebih besar dari total penerimaan pajak negara dari mereka yang kurang mampu. Jadi orang pribadi berpenghasilan rendah tidak hanya membayar pajak lebih sedikit, tetapi mereka membayar persentase yang lebih kecil dari pendapatan mereka dalam bentuk pajak. Dari berbagai jenis pajak, pajak penghasilan progresif inilah yang paling sejalan dengan tujuan meningkatkan kesetaraan pendapatan.
Objek Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat berasal kegiatan usaha, pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan lainnya.
Dalam hal orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan melaksanakan pembukuan, penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran usaha dengan harga pokok penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari kegiatan usaha selanjutnya akan dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik positif maupun negatif. Penyesuaian ini adalah penyesuaian penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang dapat bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena pajak.
Dalam hal wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun peredaran usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka Wajib Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan penghasilan brutonya dan Pajak Penghasilannya. 
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan
Penghasilan Pajak dapat juga yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari yang berhubungan dengan pekerjaan yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain. Dalam hal ini penghitungan pajak akan mengacu pada ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 21. Penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan pajaknya akan dipotong oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.
Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
Selain berbagai penghasilan yang telah disebutkan diatas, Wajib pajak juga wajib melaporkan penghasilan dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta, dan penghasilan lain-lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri, istri, dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak bersangkutan.
Jelaslah bahwa Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan keadilan.

Pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
Di Indonesia, pajak progresif diterapkan pada pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, yakni:
  • Untuk lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp 50 juta, tarif pajaknya 5%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, tarif pajaknya 15%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, tarif pajaknya 25%
  • Untuk lapisan PKP di atas Rp 500 juta, tarif pajaknya 30%.

Cara Hitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)

Penghitungan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) untuk pegawai dilakukan dengan menggunakan tarif progresif. Dengan tarif progresif, pengenaan pajak akan berbeda sesuai dengan besarnya penghasilan yang diterima seseorang. Namun sebelum pajak ini bisa dihitung, penghasilan kotor seseorang akan dikurangi dengan faktor-faktor pengurang penghasilan yang diakui oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak). Contoh faktor pengurang tersebut antara lain PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), biaya jabatan/biaya pensiun.

Tarif progresif untuk PPh 21 Orang Pribadi yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut (x = Penghasilan Kena Pajak):
1.    x <= Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah): 5% (lima persen),
2.    Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) < x <= Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah): 15% (lima belas persen),
3.    Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) < x <= Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): 25% (dua puluh lima persen),
4.    x > Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): 30% (tiga puluh persen).
PTKP untuk seorang pegawai (dengan status tidak kawin) berdasarkan ketentuan yang berlaku adalah sebesar Rp. 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh rupiah) per tahun. PTKP akan bertambah seiring dengan bertambahnya tanggungan (istri, anak, atau tanggungan tambahan). Ketentuan terakhir tentang PTKP saat tulisan ini dibuat juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

Biaya jabatan ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor dengan nilai maksimal Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) per tahun. Biaya pensiun pun ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor. Ketentuan terakhir tentang biaya jabatan/biaya pensiun saat tulisan ini dibuat tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008.

Ilustrasi penghitungan PPh 21,  dengan asumsi bahwa penerima penghasilan adalah pegawai dengan status tidak kawin yang didapat dari satu sumber (perusahaan/pemberi kerja). Untuk kemudahan penghitungan, PTKP yang digunakan adalah sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Langkah-langkah berikut:
1.    Penghasilan Bruto: Rp. 100.000.000.
2.    PTKP: Rp. 10.000.000.
3.    Biaya Jabatan: Rp. 5.000.000.
4.    Penghasilan Kena Pajak (1 - 2 - 3): Rp. 85.000.000.
5.    PPh Terutang: Rp. 7.750.000
PPh  Terutang = 5% * 50.000.000 +  15% * 35.000.000 = 2.500.000 + 5.250.000 = 7.750.000
Bagaimana kalau kita ingin menghitung jumlah pajak yang perlu kita bayar per bulan? Caranya sama persis dengan di atas, namun penghasilan bruto perlu disetahunkan. Maksudnya disetahunkan adalah penghasilan per bulan Anda dikalikan 12. Selanjutnya tinggal mengikuti langkah-langkah di atas (tentunya dengan angka-angka yang benar). Setelah langkah 5, PPh Terutang Anda kemudian dibagi 12 untuk mendapatkan PPh Terutang per bulan.

Catatan: Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah sebelum dilakukan penghitungan PPh Terutang.


PAJAK PROGRESIF  ATAS PAJAK KENDARAAN BERMOTOR

1. Wajib Pajak

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (3) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor (“Perda DKI No. 8 Tahun 2010”), Wajib Pajak pajak progresif terhadap Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi yang memiliki kendaraan bermotor.

2. Objek Pajak

Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU No. 28 Tahun 2009”) mengatur bahwa pajak progresif dikenakan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan menjadi kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih. Sebagai contoh, orang pribadi yang memiliki 1 (satu) kendaraan bermotor roda 2 (dua), 1 (satu) kendaraan bermotor roda 3 (tiga) dan 1 (satu) kendaraan bermotor roda 4 (empat), masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

3. Rumus Perhitungan Pajak Progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor

a. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu:

(i). Nilai Jual Kendaraan Bermotor (harga pasaran umum); dan
(ii). Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor yang dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu) (“Bobot”).

Khusus untuk kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hanya Nilai Jual Kendaraan Bermotor.

b. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor
Mengambil contoh penerapan pajak progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta, Pasal 7 ayat (1) Perda DKI No. 8 Tahun 2010 ditetapkan sebagai berikut:

(i). Sebesar 1,5% (satu koma lima persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama;
(ii). Sebesar 2% (dua persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua;
(iii). Sebesar 2,5% (dua setengah persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor ketiga; dan
(iv). Sebesar 4% (empat persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan seterusnya.

4. Pelaporan

Agar Wajib Pajak terhindar dari pajak progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor terhadap kendaraan bermotor yang telah dialihkan (misalnya dengan cara penjualan) kepada pihak lain maka dalam praktik, Wajib Pajak tersebut dapat memperjanjikan pemilik baru/pembeli kendaraan bermotor tersebut untuk segera melakukan balik nama atas nama dirinya.

Selain itu, dalam praktik, Wajib Pajak tersebut dapat melaporkannya ke Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah Provinsi tempat kendaraan bermotor yang telah dialihkan tersebut terdaftar. Hal tersebut dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pengalihan kendaraan bermotor dilakukan. 

Wajib Pajak tersebut mengajukan surat pernyataan yang form nya tersedia di Samsat terkait. Setelah form surat pernyataan tersebut diisi dengan lengkap dan benar, Wajib Pajak menandatanganinya di atas meterei Rp 6.000,00. Selain itu, Wajib Pajak juga harus melengkapinya dengan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.

Contoh kasus sebagai berikut:

Yuda Sengara memiliki 1 (satu) unit mobil jenis sedan merk ABC dengan tipe XYZ tahun pembuatan 2013 (“Mobil I”) dan 1 (satu) unit mobil jenis jeep merk DEF dengan tipe OPQ dengan tahun pembuatan 2013 (“Mobil II”). Kedua mobil tersebut didaftarkan atas namanya dan alamatnya di Kotamadya Jakarta Selatan. Bagaimanakah tata cara perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1 (satu) tahun pajak?

Jawab:

Setelah diketahui bahwa Mobil I memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp 150.000.000,00  dengan koefisien Bobot senilai 1;

Setelah diketahui bahwa Mobil II memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp 300.000.000,00 dengan koefisien Bobot senilai 1;

Maka perhitungannya adalah:

Mobil I = (Rp 150.000.000,00 x 1) x 1,5% = Rp 2.250.000,00 (Dua Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
Mobil II = (Rp 300.000.000,00 x 1) x 2% = Rp 6.000.000,00 (Enam Juta Rupiah)

Dengan demikian, total Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1 (satu) masa pajak yang wajib dibayarkan Yuda Sengara adalah sebesar Rp 8.250.000,00 (Delapan Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu).

PAJAK PROGRESIF. Untuk Kendaraan
Di sarankan untuk balik nama agar tidak terkena pajak Progresif. Pajak progresif diterapkan bagi kendaraan pribadi baik roda dua dan roda empat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Jika nama pemilik dan alamatnya berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum.
Kendaraan bermotor kepemilikan orang pribadi berdasarkan nama dan/atau Alamat yang sama dikenakan tarif Pajak Progresif Sebesar:
1. Kendaraan pertama 1,5 % ( 1,5 % x NJKB )
2. Kendaraan kedua 2 % ( 2 % x NJKB )
3. Kendaraan ketiga 2,5 % ( 2,5 % x NJKB )
4. Kendaraan keempat dan seterusnya 4 % ( 4 % x NJKB )
Untuk menghindari terkena Pajak Progresif, lakukan proses Balik Nama Kendaraan kepada orang yang akan membeli kendaraan anda.
Untuk informasi lebih lanjut coba tanyakan ke kantor pelayanan SAMSAT di wilayah masing-masing.
Pajak Progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara menaikkan persentase kena pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan objek pajak. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, paling tidak, terdapat 2 (dua) jenis pajak yang menerapkan sistem pajak progresif,
yaitu (i) Pajak Penghasilan; dan (ii) Pajak Kendaraan Bermotor.

Pajak memiliki peran penting, selain berfungsi sebagai sumber pendapatan negara juga memiliki fungsi distribusi (pemerataan) pendapatan. Pajak Penghasilan orang pribadi merupakan salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kesenjangan distribusi pendapatan antara orang (masyarakat) yang memiliki penghasilan tinggi dan yang memiliki penghasilan rendah. Oleh karena itu, tarif Pajak Penghasilan pribadi di Indonesia mengenal tarif pajak progresif di mana semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pula tarif Pajak Penghasilannya. 

Sementara itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. 

Pajak Kendaraan Bermotor Progresif adalah tarif pemungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) dengan persentase yang naik dengan banyaknya jumlah kendaraan yang dimiliki sebagai dasar pengenaan pajak.
Intinya, kalo kita punya lebih dari satu kendaraan (motor dua misalnya)atas nama dan alamat yang sama, hitungan pajaknya jadi beda.

adapun besarnya persentase tarif pajak adalah sebagai berikut:
* Kendaraan Pertama 1,75 % dari DPP
* Kendaraan Kedua 2,25 % dari DPP
* Kendaraan Ketiga 2,75 % dari DPP
* Kendaraan Keempat 3,25 % dari DPP
* Kendaraan Kelima 3,75 % dari DPP

Adapun DPP (Dasar Pengenaan Pajak) adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) x Bobot yang ditetapkan berdasarkan PerGub (bukan nilai jual di pasaran).

Cotoh :  kendaraan MIO, Yamaha 2005. NJKB-nya 7.100.000 x 1,75% = 124,250, ditambah SWDKLLJ kalo ini sekarang jadi 35.000, jadi kemaren itu aku bayar pajak 160.000

Kalo seandainya aku punya satu lagi motor atas namaku sendiri, motor kedua ini ngitung pajaknya NJKB x 2,25% + SWDKLLJ.

Yang kedua itu yang kena pajak progresif..

Tapi, pajak progresif ini berlaku untuk jenis kendaraan yang sama. Misal motor sama motor, kalo punyanya mobil satu motor satu, ya engga kena pajak progresif

Intinya
Pajak Progresif ini dikenakan dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan dan mempertimbangkan azas kemampuan lebih atas kepemilikan kedua dan seterusnya Kendaraan bermotor, masa punya lebih dari satu kendaraan bermotor pajaknya ingin sama,. Alasan ini muncul mungkin kedepannya Pemerintah akan lebih siap dengan transportasi umum sehingga masyarakat tidak usah banyak-banyak membeli kendaraan bermotor.

Karena itu apabila kita memiliki kendaraan bermotor pribadi atas nama kita, dan sudah berpindah tangan dengan alasan jual beli atau hibah atau waris, kita harus segera melapor ke SAMSAT dimana kendaraan kita terdaftar/teregistrasi dengan mengisi formulir yang telah disediakan dan ditandatangani pemilik diatas materai Rp. 6.000,- dengan dilampiri fotocopy KTP, serta akan dicatat untuk merubah status urutan kepemilikan kendaraan bermotor sebagai dasar perhitungan Pajak.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar