Pajak
progresif
Untuk
mewujudkan fungsi distribusi pendapatan, tarif pajak penghasilan pribadi di
Indonesia mengenakan tarif pajak progresif dimana masyarakat yang
berpenghasilan tinggi akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Pengenaan
tarif pajak progresif ini sekaligus merupakan wujud dari teori daya pikul
dimana pajak dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Tarif pajak penghasilan orang pribadi yang berlaku saat ini di Indonesia adalah
sebagai berikut:
Penghasilan sampai dengan Rp50
juta 5%
- Di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta 15%
- Diatas Rp250 juta s.d. Rp500 juta 25%
- Diatas Rp500 juta 30%
Tarif pajak
penghasilan orang pribadi meningkat seiring dengan meningkatnya penghasilan.
Prinsip yang mendasari pajak progresif adalah bahwa mereka yang memiliki
kemampuan lebih (kaya) harus menanggung beban yang lebih besar dari total
penerimaan pajak negara dari mereka yang kurang mampu. Jadi orang pribadi
berpenghasilan rendah tidak hanya membayar pajak lebih sedikit, tetapi mereka
membayar persentase yang lebih kecil dari pendapatan mereka dalam bentuk pajak.
Dari berbagai jenis pajak, pajak penghasilan progresif inilah yang paling
sejalan dengan tujuan meningkatkan kesetaraan pendapatan.
Objek Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Undang-undang
Pajak Penghasilan menyatakan bahwa penghasilan merupakan setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks orang pribadi, penghasilan dapat
berasal kegiatan usaha, pekerjaan bebas ataupun penghasilan-penghasilan
lainnya.
Dalam hal
orang pribadi menjalankan kegiatan usaha dan melaksanakan pembukuan,
penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan peredaran usaha dengan harga
pokok penjualan dan biaya usaha. Penghasilan neto dari kegiatan usaha
selanjutnya akan dilakukan beberapa penyesuaian fiskal baik positif maupun
negatif. Penyesuaian ini adalah penyesuaian penghasilan neto komersial dalam
rangka menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksanaannya, yang dapat
bersifat menambah maupun mengurangi penghasilan kena pajak.
Dalam hal
wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun peredaran
usahanya atau peredaran brutonya kurang dari Rp4,8 miliar setahun maka Wajib
Pajak dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Selain itu Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan bebas
seperti dokter, pengacara,
notaris, akuntan, konsultan, penilai, aktuaris dan arsitek juga wajib melaporkan
penghasilan brutonya dan Pajak Penghasilannya.
Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan
Penghasilan
Pajak dapat juga yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari yang
berhubungan dengan pekerjaan yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain. Dalam hal ini penghitungan pajak akan mengacu pada
ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 21. Penghasilan yang diterima sehubungan dengan
pekerjaan pajaknya akan dipotong oleh
pemberi kerja, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.
Penghasilan
Neto Dalam Negeri Lainnya
Selain
berbagai penghasilan yang telah disebutkan diatas, Wajib pajak juga wajib
melaporkan penghasilan dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan
harta, dan penghasilan lain-lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri,
istri, dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak bersangkutan.
Jelaslah
bahwa Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah salah satu instrumen untuk
mewujudkan keadilan.
Pajak
progresif adalah
tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya
jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase
untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
Di Indonesia, pajak progresif diterapkan pada
pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi, yakni:
- Untuk lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp 50 juta, tarif pajaknya 5%
- Untuk lapisan PKP di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta, tarif pajaknya 15%
- Untuk lapisan PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, tarif pajaknya 25%
- Untuk lapisan PKP di atas Rp 500 juta, tarif pajaknya 30%.
Cara Hitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)
Penghitungan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) untuk
pegawai dilakukan dengan menggunakan tarif progresif. Dengan tarif progresif,
pengenaan pajak akan berbeda sesuai dengan besarnya penghasilan yang diterima
seseorang. Namun sebelum pajak ini bisa dihitung, penghasilan kotor seseorang
akan dikurangi dengan faktor-faktor pengurang penghasilan yang diakui oleh DJP
(Direktorat Jenderal Pajak). Contoh faktor pengurang tersebut antara lain PTKP (Penghasilan
Tidak Kena Pajak), biaya jabatan/biaya pensiun.
Tarif progresif untuk PPh 21 Orang Pribadi yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut (x = Penghasilan Kena Pajak):
Tarif progresif untuk PPh 21 Orang Pribadi yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut (x = Penghasilan Kena Pajak):
1.
x
<= Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah): 5% (lima persen),
2.
Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) < x <= Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah): 15% (lima belas persen),
3.
Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) < x <= Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah): 25% (dua puluh lima persen),
4.
x
> Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): 30% (tiga puluh persen).
PTKP
untuk seorang pegawai (dengan status tidak kawin) berdasarkan ketentuan yang
berlaku adalah sebesar Rp. 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat
puluh rupiah) per tahun. PTKP akan bertambah seiring dengan bertambahnya
tanggungan (istri, anak, atau tanggungan tambahan). Ketentuan terakhir tentang
PTKP saat tulisan ini dibuat juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008.
Biaya jabatan ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor dengan nilai maksimal Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) per tahun. Biaya pensiun pun ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor. Ketentuan terakhir tentang biaya jabatan/biaya pensiun saat tulisan ini dibuat tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008.
Ilustrasi penghitungan PPh 21, dengan asumsi bahwa penerima penghasilan adalah pegawai dengan status tidak kawin yang didapat dari satu sumber (perusahaan/pemberi kerja). Untuk kemudahan penghitungan, PTKP yang digunakan adalah sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Langkah-langkah berikut:
Biaya jabatan ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor dengan nilai maksimal Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) per tahun. Biaya pensiun pun ditentukan sebesar 5% dari penghasilan kotor. Ketentuan terakhir tentang biaya jabatan/biaya pensiun saat tulisan ini dibuat tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008.
Ilustrasi penghitungan PPh 21, dengan asumsi bahwa penerima penghasilan adalah pegawai dengan status tidak kawin yang didapat dari satu sumber (perusahaan/pemberi kerja). Untuk kemudahan penghitungan, PTKP yang digunakan adalah sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Langkah-langkah berikut:
1.
Penghasilan
Bruto: Rp. 100.000.000.
2.
PTKP:
Rp. 10.000.000.
3.
Biaya
Jabatan: Rp. 5.000.000.
4.
Penghasilan
Kena Pajak (1 - 2 - 3): Rp. 85.000.000.
5.
PPh
Terutang: Rp. 7.750.000
PPh Terutang = 5% * 50.000.000 + 15% * 35.000.000 = 2.500.000 + 5.250.000 = 7.750.000
PPh Terutang = 5% * 50.000.000 + 15% * 35.000.000 = 2.500.000 + 5.250.000 = 7.750.000
Bagaimana
kalau kita ingin menghitung jumlah pajak yang perlu kita bayar per bulan?
Caranya sama persis dengan di atas, namun penghasilan bruto perlu disetahunkan.
Maksudnya disetahunkan adalah penghasilan per bulan Anda dikalikan 12.
Selanjutnya tinggal mengikuti langkah-langkah di atas (tentunya dengan
angka-angka yang benar). Setelah langkah 5, PPh Terutang Anda kemudian dibagi
12 untuk mendapatkan PPh Terutang per bulan.
Catatan: Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah sebelum dilakukan penghitungan PPh Terutang.
Catatan: Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah sebelum dilakukan penghitungan PPh Terutang.
PAJAK PROGRESIF ATAS PAJAK KENDARAAN BERMOTOR
1. Wajib
Pajak
Berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) dan (3) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor (“Perda DKI No.
8 Tahun 2010”), Wajib Pajak pajak progresif terhadap Pajak Kendaraan
Bermotor adalah orang pribadi yang memiliki kendaraan bermotor.
2. Objek
Pajak
Pasal 6 ayat
(2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(“UU No. 28 Tahun 2009”) mengatur bahwa pajak progresif dikenakan
terhadap kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang
sama. Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan menjadi
kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan kendaraan roda 4 (empat) atau lebih.
Sebagai contoh, orang pribadi yang memiliki 1 (satu) kendaraan bermotor roda 2
(dua), 1 (satu) kendaraan bermotor roda 3 (tiga) dan 1 (satu) kendaraan
bermotor roda 4 (empat), masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama
sehingga tidak dikenakan pajak progresif.
3. Rumus
Perhitungan Pajak Progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor
a. Dasar
Pengenaan Pajak
Dasar
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur
pokok, yaitu:
(i). Nilai
Jual Kendaraan Bermotor (harga pasaran umum); dan
(ii). Bobot
yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran
lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor yang dinyatakan dalam koefisien
yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu) (“Bobot”).
Khusus untuk
kendaraan bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat
dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor adalah hanya Nilai Jual Kendaraan Bermotor.
b. Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor
Mengambil
contoh penerapan pajak progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta,
Pasal 7 ayat (1) Perda DKI No. 8 Tahun 2010 ditetapkan sebagai berikut:
(i). Sebesar
1,5% (satu koma lima persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama;
(ii).
Sebesar 2% (dua persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua;
(iii).
Sebesar 2,5% (dua setengah persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor
ketiga; dan
(iv).
Sebesar 4% (empat persen), untuk kepemilikan kendaraan bermotor keempat dan
seterusnya.
4. Pelaporan
Agar Wajib
Pajak terhindar dari pajak progresif atas Pajak Kendaraan Bermotor terhadap
kendaraan bermotor yang telah dialihkan (misalnya dengan cara penjualan) kepada
pihak lain maka dalam praktik, Wajib Pajak tersebut dapat memperjanjikan
pemilik baru/pembeli kendaraan bermotor tersebut untuk segera melakukan balik
nama atas nama dirinya.
Selain itu,
dalam praktik, Wajib Pajak tersebut dapat melaporkannya ke Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah
Provinsi tempat kendaraan bermotor yang telah dialihkan tersebut terdaftar. Hal
tersebut dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pengalihan kendaraan bermotor
dilakukan.
Wajib Pajak
tersebut mengajukan surat pernyataan yang form nya tersedia di Samsat terkait.
Setelah form surat pernyataan tersebut diisi dengan lengkap dan benar, Wajib
Pajak menandatanganinya di atas meterei Rp 6.000,00. Selain itu, Wajib Pajak
juga harus melengkapinya dengan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga.
Contoh kasus
sebagai berikut:
Yuda Sengara
memiliki 1 (satu) unit mobil jenis sedan merk ABC dengan tipe XYZ tahun
pembuatan 2013 (“Mobil I”) dan 1 (satu) unit mobil jenis jeep merk DEF
dengan tipe OPQ dengan tahun pembuatan 2013 (“Mobil II”). Kedua mobil
tersebut didaftarkan atas namanya dan alamatnya di Kotamadya Jakarta Selatan.
Bagaimanakah tata cara perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1
(satu) tahun pajak?
Jawab:
Setelah
diketahui bahwa Mobil I memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp
150.000.000,00 dengan koefisien Bobot senilai 1;
Setelah
diketahui bahwa Mobil II memiliki Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebesar Rp
300.000.000,00 dengan koefisien Bobot senilai 1;
Maka
perhitungannya adalah:
Mobil I =
(Rp 150.000.000,00 x 1) x 1,5% = Rp 2.250.000,00 (Dua Juta Dua Ratus Lima Puluh
Ribu Rupiah).
Mobil II =
(Rp 300.000.000,00 x 1) x 2% = Rp 6.000.000,00 (Enam Juta Rupiah)
Dengan
demikian, total Pajak Kendaraan Bermotor terutang untuk 1 (satu) masa pajak
yang wajib dibayarkan Yuda Sengara adalah sebesar Rp 8.250.000,00 (Delapan Juta
Dua Ratus Lima Puluh Ribu).
Di sarankan untuk balik nama agar tidak terkena pajak Progresif. Pajak progresif diterapkan bagi kendaraan pribadi baik roda dua dan roda empat dengan nama pemilik dan alamat tempat tinggal yang sama. Jika nama pemilik dan alamatnya berbeda, maka tidak dikenakan pajak progresif. Pajak progresif ini tidak berlaku untuk kendaraan dinas pemerintahan dan kendaraan angkutan umum.
Kendaraan bermotor kepemilikan orang pribadi berdasarkan nama dan/atau Alamat yang sama dikenakan tarif Pajak Progresif Sebesar:
1. Kendaraan pertama 1,5 % ( 1,5 % x NJKB )
2. Kendaraan kedua 2 % ( 2 % x NJKB )
3. Kendaraan ketiga 2,5 % ( 2,5 % x NJKB )
4. Kendaraan keempat dan seterusnya 4 % ( 4 % x NJKB )
Untuk menghindari terkena Pajak Progresif, lakukan proses Balik Nama Kendaraan kepada orang yang akan membeli kendaraan anda.
Untuk informasi lebih lanjut coba tanyakan ke kantor pelayanan SAMSAT di wilayah masing-masing.
Pajak Progresif atas Pajak
Kendaraan Bermotor
Pajak
progresif adalah pajak yang sistem pemungutannya dengan cara menaikkan
persentase kena pajak yang harus dibayar sesuai dengan kenaikan objek pajak.
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, paling tidak, terdapat 2 (dua) jenis
pajak yang menerapkan sistem pajak progresif,
Pajak
memiliki peran penting, selain berfungsi sebagai sumber pendapatan negara juga
memiliki fungsi distribusi (pemerataan) pendapatan. Pajak Penghasilan orang
pribadi merupakan salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kesenjangan
distribusi pendapatan antara orang (masyarakat) yang memiliki penghasilan
tinggi dan yang memiliki penghasilan rendah. Oleh karena itu, tarif Pajak
Penghasilan pribadi di Indonesia mengenal tarif pajak progresif di mana
semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pula tarif Pajak
Penghasilannya.
Sementara
itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi
tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk
menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan
seterusnya.
Pajak
Kendaraan Bermotor Progresif adalah tarif pemungutan pajak kendaraan bermotor
(PKB) dengan persentase yang naik dengan banyaknya jumlah kendaraan yang
dimiliki sebagai dasar pengenaan pajak.
Intinya, kalo kita punya lebih dari satu kendaraan (motor dua misalnya)atas nama dan alamat yang sama, hitungan pajaknya jadi beda.
adapun besarnya persentase tarif pajak adalah sebagai berikut:
* Kendaraan Pertama 1,75 % dari DPP
* Kendaraan Kedua 2,25 % dari DPP
* Kendaraan Ketiga 2,75 % dari DPP
* Kendaraan Keempat 3,25 % dari DPP
* Kendaraan Kelima 3,75 % dari DPP
Adapun DPP (Dasar Pengenaan Pajak) adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) x Bobot yang ditetapkan berdasarkan PerGub (bukan nilai jual di pasaran).
Intinya, kalo kita punya lebih dari satu kendaraan (motor dua misalnya)atas nama dan alamat yang sama, hitungan pajaknya jadi beda.
adapun besarnya persentase tarif pajak adalah sebagai berikut:
* Kendaraan Pertama 1,75 % dari DPP
* Kendaraan Kedua 2,25 % dari DPP
* Kendaraan Ketiga 2,75 % dari DPP
* Kendaraan Keempat 3,25 % dari DPP
* Kendaraan Kelima 3,75 % dari DPP
Adapun DPP (Dasar Pengenaan Pajak) adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) x Bobot yang ditetapkan berdasarkan PerGub (bukan nilai jual di pasaran).
Cotoh : kendaraan MIO, Yamaha 2005. NJKB-nya 7.100.000
x 1,75% = 124,250, ditambah SWDKLLJ kalo ini sekarang jadi 35.000, jadi kemaren
itu aku bayar pajak 160.000
Kalo seandainya aku punya satu lagi motor atas namaku sendiri, motor kedua ini ngitung pajaknya NJKB x 2,25% + SWDKLLJ.
Yang kedua itu yang kena pajak progresif..
Tapi, pajak progresif ini berlaku untuk jenis kendaraan yang sama. Misal motor sama motor, kalo punyanya mobil satu motor satu, ya engga kena pajak progresif
Intinya
Kalo seandainya aku punya satu lagi motor atas namaku sendiri, motor kedua ini ngitung pajaknya NJKB x 2,25% + SWDKLLJ.
Yang kedua itu yang kena pajak progresif..
Tapi, pajak progresif ini berlaku untuk jenis kendaraan yang sama. Misal motor sama motor, kalo punyanya mobil satu motor satu, ya engga kena pajak progresif
Intinya
Pajak
Progresif ini dikenakan dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan dan
mempertimbangkan azas kemampuan lebih atas kepemilikan kedua dan seterusnya
Kendaraan bermotor, masa punya lebih dari satu kendaraan bermotor pajaknya
ingin sama,. Alasan ini muncul mungkin kedepannya Pemerintah akan lebih siap
dengan transportasi umum sehingga masyarakat tidak usah banyak-banyak membeli
kendaraan bermotor.
Karena itu apabila kita memiliki kendaraan
bermotor pribadi atas nama kita, dan sudah berpindah tangan dengan alasan jual
beli atau hibah atau waris, kita harus segera melapor ke SAMSAT dimana
kendaraan kita terdaftar/teregistrasi dengan mengisi formulir yang telah
disediakan dan ditandatangani pemilik diatas materai Rp. 6.000,- dengan
dilampiri fotocopy KTP, serta akan dicatat untuk merubah status urutan
kepemilikan kendaraan bermotor sebagai dasar perhitungan Pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar